Padang,
Hoaks terkait dengan vaksin Covid-19 masih banyak beredar di masyarakat. Bahkan, penyebaran hoaks ini lebih berbahaya dari Virus Corona sendiri.
Hal itu terungkap dalam talkshow di Radio Sushi 99.1 FM yang diselenggarakan Harian Singgalang bekerjasama dengan Satgas Covid-19-Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Jumat (5/2) yang dipandu penyiar Andiko Sigit.
Narasumber dalam talkshow kali ini, Kepala Dinas Komunikasi dan Informasi (Diskominfo) Sumbar, Jasman Rizal dan Trainer Cek Fakta Google, Donal Meisel dengan tema Hoax Vaksin Makin Menjadi-jadi, Apa Tindakan Dinas Kominfo?.
Dalam kesempatan itu, Jasman menjelaskan vaksin itu bukanlah hal yang baru. Semuanya sudah mengenal vaksin sejak lama. Mau nikah divaksin, naik haji divaksin. Ada folio dan campak. Namun, saat vaksin Covid-19 dipermasalahkan. Sementara Vaksin Covid-19 adalah yang paling aman. Karena, Vaksin Covid-19 itu dimatikan, bukan dilemahkan.
“Saya sudah dua kali divaksin, secara keseluruhan nomor tiga setelah Danrem dan Ketua IDI. Kalau pejabat publik, saya pertama. Sempat juga khawatir, secara psikologis. Tekanan darah sampai 176, kaget juga. Itu akibat selama ini saya mengkonsumsi berita-berita tentang Covid-19 yang tidak benar,” katanya.
Menurutnya, saat yang kedua, dirinya masih cemas. Untuk itu Jasman berpesan kalau ada yang melihat berita hoaks, jangan dibaca. Karena menyebabkan macam-macam terhadap yang dipikirkan. “Masalah Covid-19 saya sampaikan, bahwa hingga kapan kekebalan hingga imun alami timbul. Kekebalan tubuh 100 persen akan terbentuk pada 28 hari setelah divaksin. Sementara bagi yang imun alami, akan bertahan sampai 8 bulan,” ungkapnya.
Diakuinya masih ada kasus, sebulan sudah sembuh, kemudian terinfeksi lagi. Bisa jadi strain, atau virus yang masuk itu berbeda. Kalau berbeda imun tubuh tidak kenal. Karena virus itu selalu melakukan mutasi genetik, disesuaikan dengan berbagai situasi.
Kemudian, virus, rot, setelah terinfeksi covid-19, karena prokes tidak ketat, merasa nyaman. Akhirnya virusnya masuk, melebihi kemampuan imun tubuh. Itu penyebab, kenapa yang sudah kena Covid-19 kena lagi. Sebetulnya setelah kena, tidak mungkin kena lagi.
“Apakah perlu divaksin bagi yang pernah terinfeksi, perlu, karena sekarang kita lebih memprioritaskan tenaga kesehatan. Jumlah vaksin terbatas, yang berpotensi didahulukan. Sementara yang sudah pernah positif di kemudian, karenaa sudah punya antibodi alami,” ungkapnya.
Menurutnya, orang yang sudah divaksin, memiliki antibodi yang lebih kuat daripada yang sembuh dari Covid-19. Tingkat kekebalan akan lebih tinggi. Apakah ada jarak waktu, antara yang kena Covid-19 untuk divaksin. Belum ada arahan, sampai saat ini. Dapat diberikan setelah infeksi mandiri.
Vaksin memang ada efeknya, seperti demam, biasanya itu 48 jam akan hilang sendiri. “Kalau saya tidak, saya ngantuk berat. Karena saya ngantuk saya tahan, akhirnya saya sakit kepala. Kalau demam, itu biasa. Karena antibodi sudah bereaksi,”ujarnya.
Disebutkannya, upaya pemerintah, pandemi ini memerlukan peran bersama masyarakat. Pemerintah membuat regulasi, mulai dari pemeritah pusat sampai ke daerah. Khususnya Sumbar sudah punya Perda Nomor 6 tentang Adaptasi Kehidupan Baru (AKB).
“Kita Pemprov Sumbar sudah berupaya semaksimal mungkin. Tidak ada lagi masyarakat yang tidak tahu dengan bahaya Covid-19. Persoalannya, warga Sumbar 40 persen tidak percaya dengan Covid-19,” katanya.
“Ada beberapa hal masyarakat itu terpengaruh, karena mereka tidak yakin. Seperti apapun, hoaks itu lebih bahaya dari covid-19. Sudah lakukan berbagai upaya. Melalui media. Ternyata ketika pemerintah memberikan informasi banyak yang tidak percaya,” ulasnya.
Untuk itu bagaimana melibatkan tokoh-tokoh informal dan institusi informal. Karena yang paling efektif. Kalau masyarakat sendiri yang menyampaikan tokoh masyarakat, akan lebih efektif. Pembuat dan penyebar hoaks adalah masyarakat berani melawan arus, hanya ingin tampil beda. Dia mau dianggap hebat, anti sosial. Bisa juga dianggap kelainan jiwa saja.
“Ini dilema kita, kita tidak pernah lelah menyampaikan pada masyarakat. Sebetulnya, di Kominfo Pusat. Banyak link, dan portal yang sudah di-takedowns. Karena penjelasan kita kalah dengan jumlah yang dibuat oleh masyarakat,” paparnya.
“Kita minta kecerdasan masyarakat dan mencerdaskan masyarakat terkait informasi hoaks tersebut,” tambahnya.
Celakanya, saat membagikan itu tidak dibaca. Ada rasa kebanggaan, membagikan informasi, tanpa memeriksa isinya dulu. Untuk itu bagi masyarakat, jangan berpedoman pada sosial media. Kalau ingin mendapatkan informasi yang benar carilah media yang profesional. Terverifikasi, berimbang dan berbadan hukum.
Trainer Cek Fakta Google Donal Meisel menjelaskan, pengaruh hoaks itu akhirnya bisa dipercaya masyarakat karena masyarakat yang didoktrin terus-terusan akhirnya masyarakat terpengaruh juga. Salah satu yang membedakan, kenapa masyarakat gampang termakan hoaks.
Menurutnya, ada beberapa kategori hoaks. Mulai dari narasumbernya tidak kredibel, sering muncul, vaksin haram. Karena sering mendengar vaksin haram, akhirnya dipercaya itu haram. Sementara sudah mendapatkan sertifikat halal dari MUI dan BPOM.
Masyarakat sudah tidak bisa menerima informasi yang benar. Sudah tertutup dengan informasi yang tidak masuk akal. Munculnya hoaks terkadang tidak bisa terduga. Karena masing-masing orang punya gadged. Ketika mendapatkan informasi sudah terbiasa untuk membagikannya.
Penyebab lainnya, tingkat literasi Indonesia itu cukup rendah. Secara global, pada posisi 90 dari total sekitar 180 negara. Ketika hanya membaca judul, langsung membagikan. “Terkait vaksin saat ini beredar, yang paling hot itu adalah, vaksin Sinovak itu haram. Ini paling banyak muncul,” katanya.
Setidaknya ada 95 macam hoaks yang terdeteksi. Hoaknya booming, presiden yang divaksin dengan vitamin C. Itu masih mendingan, vaksin itu dibarkot dengan cips yang ditanamkan. Ini menjadi ketakutan tersendiri bagi masyarakat. Masyarakt punya gawai yang canggih, tapi tidak pintar menggunakannya.
“Informasi itu seperti air bah, banjir. Masyarakat belum bisa memilih informasi yang benar dan tidak,” katanya.
Untuk itu, diharapkan pemerintah lebih bayak mengedukasi terkait informasi yang tidak benar tersebut. Apalagi masyarakat lebih cenderung mencari informasi yang sesuai dengan persepsi mereka.
Diharapkan, klarifikasi terkait informasi Covid-19 lebih cepat diberikan. Contohnya, terkait vaksinasi ini. Edukasi seperti ini harus lebih ditingkatkan lagi, karena hoaks ini memang tidak akan pernah selesai.
“Hal-hal seperti ini sangat berpotensi menjadi liar. Kalau mendapatkan informasi, kita cari dulu dari google, kemudian bisa dibaca. Kemudian temukan halaman cek fakta. Itu kerjasama dengan media,” katanya. (104)